|

Muslimah Reformis

Sepenting Ini Kesetaraan Suami-Isteri dalam Sebuah Perkawinan

 

Seiring dengan bertambahnya usia, kita tentunya pernah berada pada suatu fase di mana teman-teman kita satu per satu mulai melangsungkan pernikahan. Diikuti dengan fenomena banyak dari kita, khususnya dari kalangan milenial yang kemudian ingin buru-buru menyusul menikah juga. Tetapi apakah kita benar-benar mengetahui tentang pernikahan itu sendiri? Apa dan bagaimanakah prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam?

Dalam Kitab Manba’ussa’adah karya Kiai Faqihuddin Abdul Kodir, terdapat lima prinsip pernikahan. Pertama, pernikahan bermuara pada tujuan untuk mencapai kemaslahatan. Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin menjadikan pernikahan sebagai suatu yang membahagiakan bagi kedua belah pihak. Hal ini termaktub pula dalam Q.S. An-Nur ayat 32 “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Yang kedua, dalam pernikahan terdapat dua hal, ibarat dua sisi koin, pernikahan bisa membawa kemaslahatan namun juga bisa mendatangkan mafsadat atau keburukan. Apabila pernikahan diniati untuk menguasai tubuh pasangan, mengontrol hidupnya bahkan melakukan kekerasan atau segala hal yang dapat memberi dampak mendzalimi pasangan. Pernikahan bisa menjadi maslahah apabila tujuannya untuk bersenang-senang dalam memenuhi hasrat biologis dengan cara yang ma’ruf atas dasar ikhlas dan ridha.

Ketiga, pernikahan harus disertai dengan muqaddimah, yaitu nilai-nilai moralitas ketaqwaan kepada Allah SWT. Jadi, pernikahan diniatkan sebagai wujud ketaqwaan seorang hamba kepada Allah SWT. Dalam mencari pasangan dimulai dengan mencari pasangan yang sekufu. Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa sekufu artinya sepadan dalam empat hal yakni kesepadanan nasab, agama, strata sosial dan pekerjaan. Ibarat di era saat ini, pasangan harus saling mengetahui perihal bobot, bibit, bebet. Kemudian sekufu harus dilanjutkan dengan perkenalan yang mulia. Dalam hal ini, persiapan mental, fisik, ekonomi, sosial menjadi pertimbangan.

Keempat, ridha dan ikhlas. Ibn Al Qoyyim Al Jauziyah dalam kitab Al Ma’had menjelaskan seorang ayah tidak diperkenankan menggunakan kekuasaannya untuk memaksa anak perempuannya yang sudah baligh dan berakal menyerahkan diri kepada seseorang yang sebenarnya tidak disukai. Mari mengubah tradisi yang memandang seolah-olah anak perempuan kepemilikannya ada pada ayahnya. Sebuah pernikahan harus diawali dengan niat taqwa kepada Allah dan memulainya dengan kerelaan kedua belah pihak, terutama kerelaan pihak perempuan. Tidak boleh ada paksaan apalagi ancaman dalam suatu pernikahan. Itu kenapa pernikahan harus disertai dengan prinsip ridha dan ikhlas.

Kelima, pernikahan adalah perjalanan jangka panjang. Memasuki pernikahan ibarat memasuki hutan belantara. Kita tidak tahu bagaimana asal muasal pasangan, karakter asli dari pasangan tetapi kita akan melewati perjalanan panjang bersama pasangan. Maka dari itu dibutuhkan cara agar mampu menumbuhkan cinta yang terus menerus. Seperti saling mengapresiasi pengalaman. Cinta harus tumbuh, kasih sayang harus terus menerus.

Kebahagiaan hidup dalam pernikahan hanya dapat diwujudkan dalam kehidupan keluarga manakala suami isteri berada pada posisi yang setara dan sederajat. Itulah yang sekarang diistilahkan dengan kesetaraan dan keadilan gender. Sebab, bagaimana mungkin suami isteri bisa saling menghargai, saling menghormati, dan saling terbuka jika sang suami memandang isteri lebih rendah atau lebih tinggi. Atau sebaliknya, isteri memandang suami lebih tinggi atau lebih rendah.

Keduanya harus memandang satu sama lain sebagai manusia utuh yang harus dihargai dan dihormati apa pun posisi dan statusnya.  Keduanya harus menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Di hadapan Allah swt. semua manusia sama derajatnya, yang membedakan di antara mereka hanyalah prestasi takwanya, itupun hanya Allah yang berhak menilai, bukan manusia. Ketika keduanya saling memandang satu sama lain sebagai manusia utuh, maka keduanya akan menjadi lebih bisa memahami satu sama lain dan bisa memanusiakan manusia. Dalam pandangan Islam, perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Bahkan di antara keduanya, sebenarnya terdapat hubungan kmeitraan yang harmonis dan melengkapi satu sama lain. Dalam ranah publik maupun domestik, perempuan juga memiliki kedudukan dan hak yang sama.

Sebelum seseorang menuju pada jenjang pernikahan, alangkah baiknya terlebih dahulu memiliki bekal terutama keilmuan. Khsuusnya pada ilmu-ilmu seperti di atas yang sangat wajib diketahui dan dipelajari oleh Muslimah milenial agar tercipta generasi yang memiliki keluarga dan relasi setara yang sehat dan mendatangkan kemaslahatan bagi keduanya. Yuk jadi Muslimah Milenial Reformis yang sadar relasi kesetaraan dalam berkeluarga!

 

 

Oleh: Lutfi Maulida

Editor: Wiwit Musaadah