Saya teringat tulisan seorang guru besar pendiri jurusan tasawuf psikoterapi di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, yakni almarhum Muhammad Nursamad Kamba. Tulisannya membahas tentang hadis nabi yang berbunyi
“Tiada anak yang lahir kecuali dalam keadaan fitrah, hanya saja kedua orangtuanya menjadikannya penganut Yahudi atau Nasrani ataupun Majusi”. (HR. Bukhari).
Sebelum membaca tulisan beliau saya selalu bertanya-tanya apa maksud dari kalimat “…hanya saja kedua orangtuanya menjadikannya penganut Yahudi atau Nasrani ataupun Majusi”. Kalimat tersebut seolah-olah mengatakan bahwa orangtua menjadi penyebab seorang anak dalam menganut agama tertentu. Tapi pada kenyataannya saya seringkali melihat fenomena dimana seorang anak memilih untuk pindah agama dan berbeda keyakinan dengan orang tuanya. Menurut saya adanya fenomena tersebut membuktikan bahwa orang tua tidak menjadi penyebab atau pengaruh terhadap anaknya dalam menentukan agama yang akan dianut oleh anak tersebut. Pertanyaannya “lalu bagaimana cara memahami hadis tersebut?”. Dalam pencarian saya, akhirnya saya menemukan buku yang berjudul Kids Zaman Now menemukan kembali Islam. Dalam bukunya alm. Buya Kamba tersebut dijelaskan makna dari kata “fitrah” yang terdapat dalam hadis tersebut.
Para penafsir tradisional berbeda pendapat, sebagaimana selalu begitu tentang makna fitrah, apakah kesucian tanpa dosa atau Islam sebagai agama. Ada pandangan lain bahwa yang dimaksud fithroh adalah common sense (akal sehat). Memang, perbedaan pendapat ini terjadi pada masa akhir. Setidaknya sebelum abad ke 3 H/9 M belum ada perdebatan itu. Boleh jadi, telah terjadi penambahan kalimat pada sabda nabi tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa karakteristik pernyataan atau penegasan beliau selalu singkat dan padat. Mungkin yang asli hanya penggalan pertama, yakni “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah”. Penggalan berikutnya sepertinya penambahan. Sebab jika yang dimaksud nabi benar-benar peran orang tua membuatnya menjadi beragama non-Islam tentu tidak terbatas pada Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Setidaknya nabi akan menyinggung musyrik dan penyembah berhala.
Ada korelasi antar kemungkinan penambahan kalimat dengan munculnya perbedaan pendapat di masa akhir ketika Islam tidak lagi sekedar agama tapi sudah menjadi inistitusi negara. Sebagaimana diketahui permasalahan politik muncul segera setelah Nabi wafat.
Jika yang diasumsikan benar bahwa makna fitrah dalam hadis nabi adalah Islam yang sudah mengalami pelembagaan maka wajar ada penyebutan Yahudi dan Nasrani. Namun jika yang dimaksudkan ternyata adalah common sense maka penyebutan Yahudi dan Nasrani tidak relevan. Harap dicatat sebagaimana yang disinggung di muka bahwa seharusnya tidak hanya Yahudi dan Nasrani tapi juga menyinggung penyembah berhala dan musyrik.
Terlepas dari perdebatan bahasa terdapat pemaknaan lain yang kalau direnungkan akan menjadi lebih relevan, yakni common sense. Jika ini yang dimaksud maka sesungguhnya nabi memberi pedoman untuk mengelola proses pendidikan yang ideal. Setiap manusia secara potensial memiliki common sense sehingga proses pendidikan difokuskan bagaimana common sense pada diri setiap orang berkembang dan terbangunkan. Makna ini sejalan dan seiring dengan penegasan Allah dalam QS. al Tin ayat 4. Dalam rangka pengembangan common sense tersebut ikut dikembangkan segenap potenasi diri manusia. Jalan utama pengembangan ini adalah proses intelektualisasi yang dalam al-Qur’an ada pedoman dasarnya. Menurut al-Qur’an pengetahuan dimulai dengan pendekatan inderawi. Bahkan lebih rinci al Qur’an menegaskan awal dari setiap proses intelektualisasi adalah melalui pendengaran (sami’), penglihata (bashar), dan pemikiran (fu’ad). Sejak awal al-Qur’an mengasumsikan proses pendidikan tidak diselenggarakan dengan sistem indoktrinasi tapi dengan cara intelektualisasi.
27 Maret 2021
Amelia Wardani (Alumni Pelatihan Muslimah Milenial Reformis)