Kasus-kasus terorisme belakangan ini menempatkan perempuan bukan lagi sebagai “pemain pembantu”
yang menyiapkan logistik dan perlengkapan perang, akan tetapi sudah “naik kelas” menjadi eksekutor dan pasukan perang. Bahkan, beberapa menjadi aktor kunci pemenangan aksi terorisme. Artinya, agensi perempuan dalam terorisme tak boleh diabaikan.
Keberadaan perempuan sebagai teroris di Indonesia mulai terkuak dengan tertangkapnya Dian
Yulia Novi, pelaku “bom panci” di Bekasi pada penghujung 2016. Setelah Dian, muncul nama Ika Puspita Sari di Purworejo yang melancarkan aksi bom
bunuh diri di luar Jawa. Lalu, Umi Delima, isteri teroris Santoso di Poso. Penangkapan ketiga orang tersebut
menambah jumlah nama perempuan dalam pusaran terorisme. Sebelum itu, beberapa nama telah tertangkap
seperti Putri Munawwaroh, Inggrid Wahyu, Munfiatun, Rasidah binti Subari, Ruqayah binti Husen Lecano, Deni Carmelit, Rosmawati, dan Arina Rahma. Tragedi ini menyibak fakta keterlibatan sejumlah perempuan dan kemampuan agensi mereka dalam gerakan terorisme di Indonesia.
Modus baru dalam aksi terorisme menjadikan perempuan sebagai subyek atau pelaku. Jika sebelumnya aksi-aksi teror berwajah maskulin, belakangan terlihat wajah-wajah feminin. Meskipun faktanya perempuan adalah pelaku, hakikatnya mereka tetaplah korban; korban dari ketidaktahuan dan ketidakberdayaan, yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki rencana keji dan sistematik demi tujuan terorisme. Meski tetap harus menaruh kewaspadaan tinggi terhadap agensi perempuan.
Perempuan sebagai Korban Jauh sebelum perempuan dilibatkan sebagai pelaku dalam aksi-aksi terorisme, mereka telah lama dijadikan sasaran dalam berbagai aksi kebrutalan terorisme. Akibat budaya patriarki yang masih mengental di masyarakat, perempuan selain dipandang sebagai kelompok rentan dan tak berdaya, mereka juga dianggap sebagai simbol kemurnian sebuah kelompok. Asumsi ini membuat sejumlah kelompok teroris lebih suka memilih perempuan sebagai sandera atau korban, lalu mereka diperlakukan secara sadis dengan berbagai bentuk kekerasan seksual. Semua itu dilakukan oleh kelompok teroris semata sebagai taktik membangun rasa takut yang biasanya berujung pada penyerahan diri target-target sebenarnya.
Demikianlah yang dilakukan kelompok terorisme Boko Haram di Nigeria pada 2014. Mereka menculik ratusan murid perempuan dalam berbagai aksi teror mereka. Boko Haram meyakini, sistem
pendidikan Barat merupakan dosa, dan perempuan tidak perlu pendidikan, cukup tinggal di rumah membesarkan anak dan melayani suami. Tidak hanya
menculik, Boko Haram juga melakukan pengeboman sejumlah gedung sekolah dan menewaskan ratusan
pelajar. Tindakan serupa juga dilakukan kelompok terorisme di Suriah, Irak, Lebanon, Pakistan dan Afghanistan.
Melihat jauh ke belakang, ingatan kita akan tertuju pada teror dan penyiksaan terhadap perempuan yang memperjuangkan hak-hak asasi mereka di Amerika Serikat pada 1917. Ketika itu hak pilih perempuan belum diakui, dan sejumlah aktivis feminisme ditangkap dan dianiaya secara keji di penjara setelah melancarkan protes di Gedung Putih karena tidak diperbolehkan mengikuti pemilihan umum. Tragedi ini diperingati sebagai The Night of Terror.
Perempuan sebagai korban terorisme tidak hanya mereka yang bersinggungan langsung dengan pelaku aksi terorisme, melainkan juga mereka yang mengalami stigma dan bullying akibat aksi terorisme di tempat lain. Hal itu seperti dialami para perempuan Muslim di berbagai wilayah di Amerika pasca-tragedi 11 September 2001. Mereka menjadi korban tak langsung akibat aksi terorisme tersebut. Mereka kerap kali mengalami stigma negatif, sebagian mereka menerima perlakuan diskriminatif atau perundungan di lingkungan masyarakat hanya karena mengenakan jilbab. Berbagai fenomena tadi memberikan bukti
betapa perempuan merupakan kelompok paling rentan dan sekaligus menjadi sasaran empuk aksi-aksi terorisme.