|

Muslimah Reformis

Diskusi Online; Mencintai Tafsir Humanis-Feminis dalam Teks Keagamaan

Muslimah Reformis Foundation bekerjasama dengan Kajian Salam Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menyelenggarakan diskusi online melalui aplikasi Zoom pada Sabtu (04/07). Tema diskusi yang diangkat adalah Mencintai Tafsir Humanis-Feminis dalam Teks Keagamaan.Kajian ini diisi oleh Musdah Mulia selaku Ketua Yayasan Mulia Raya dan penulis buku Ensiklopedia Muslimah Reformis, Imam Nahe’i yang merupakan komisioner Komnas Perempuan dan dimoderatori oleh Siti Rubaidah dari Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini.

Imam Nahe’i dalam penjelasannya menerangkan bahwa penafsiran kita terhadap teks-teks agama umumnya menggunakan pendekatan fikih. Sementara itu, fikih merupakan pendekatan yang cukup kering, karena terbatas pada persoalan halal-haram dan boleh-tidak boleh. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk menarik fikih, memberinya spirit kemanusiaan dan kerahmatan.

Penggunaan perspektif humanis-feminis seringkali tidak masuk dalam kesadaran kita. Oleh sebab itu, perlu dibangun paradigmanya agar orang bisa mengerti makna suatu teks dengan baik. Imam Nahe’i yang juga kerap disapa Kiai Nahe’i ini pun memberikan contoh tentang ayat-ayat poligami.

Menurutnya, ayat tentang poligami bukanlah perintah untuk berpoligami, melainkan untuk mengaturnya, mengingat pada zaman itu poligami marak dilakukan. Seorang suami bisa mempunyai istri lebih dari empat, sangat banyak dan tak terbatas. Karena itulah Alquran mengatur poligami yang pada prinsipnya menuju keadilan.

Kiai Nahe’i juga memberi tanggapan atas buku Ensiklopedia Muslimah Reformis karya Musdah Mulia yang menurutnya telah mengupayakan dan mempromosikan model penafsiran teks agama yang humanis-feminis. “Tafsir seperti ini harus di-mainstream-kan,” ujar Kiai Nahe’i.

Musdah Mulia sebagai narasumber kedua juga menekankan tentang perlunya membaca teks keagamaan secara humanis-feminis. Membaca teks dengan penuh kemanusiaan. Karena jika tidak, kita bisa terbawa pada penafsiran yang justru bertentangan dengan nilai-nilai agama itu sendiri. Musdah sendiri menganggap bahwa ayat yang dibaca perlu diyakini penuh, tanpa keraguan. Tetapi kemudian bagaimana kita menafsirkannya. “Jangan sampai kita terbelenggu pada penafsiran yang patriarkal,” tegasnya.

Penafsiran yang patriarkal tidak jarang menjadi legitimasi untuk melakukan kekerasan. Misalnya saja perihal nusyuz yang selalu dialamatkan kepada perempuan dan dianggap sebagai satu kebolehan untuk memukul. Padahal, jika ditelaah lagi, kata dharaba yang terdapat dalam ayat nusyuz memiliki banyak makna. Bahkan bisa sampai 40 makna. Tidak hanya berarti memukul, bisa juga berarti mengingatkan, menegur dan lain sebagainya.

Model penafsiran seperti inilah yang dianggap oleh Musdah Mulia sebagai penafsiran yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam dan perlu untuk diinterpretasikan ulang. “Sudah waktunya kita membaca teks-teks dengan penuh kemanusiaan, demi menjadikan ajaran Islam ini sebagai rahmat bagi semua,” terang Musdah Mulia.

Para peserta yang tergabung menyimak dan menanggapi dangan penuh antusias. Berbagai tanggapan dan pertanyaan diajukan kepada para narasumber. Diskusi yang berlangsung selama dua jam itu pun masih dirasa kurang sebab pertanyaan-pertanyaan penting yang membutuhkan satu kajian tersendiri.