Muh. Abidzar Qiffary Day
Mendengar kata Poso, tentu kita semua sangat mafhum dengan daerah ini. Dari sabang hingga merauke tahu bagaimana persis, kota yang pernah dilanda konflik sosial berkepanjangan semenjak 1998 hingga terjadinya perdamaian pasca deklarasi perjanjian malino pada 2001. Konflik ini terjadi secara masif hampir diseluruh wilayah Kabupaten Poso.
Efek dari konflik juga mengakibatkan ratusan ribu korban jiwa, serta hancurnya berbagai infrastruktur dan fasilitas publik lainnya. Banyak warga pengungsi yang pindah ke daerah lain. Ada yang kembali ke Poso tapi banyak juga yang sudah menetap ditempat barunya.
Walau memang, setelah terjadinya damai pun antara yang berkonflik, masih ada peristiwa-peristiwa seperti bom yang meledak di Pasar, kemudian aksi terorisme yang ada di Gunung Biru, Wilayah Poso Pesisir tapi itu hanya berskala kecil, dan sudah tidak dihiraukan lagi oleh masyarakat. Tak ada yang menyangka dan menduga bahwa kota kecil di pesisir Sulawesi Tengah itu pernah menjadi medan konflik yang eskalasinya seperti perang sipil, begitulah pandangan Dave McRae seorang peneliti dari Melbourne University dalam disertasinya (Dave McRae : 2016).
Bagi masyarakat Poso sendiri, memori kelam dua puluh empat tahun yang lalu itu harus dikubur dalam-dalam agar tidak diwarisi anak-cucu generasi muda Poso hari ini. Hanya hikmah yang dapat dipetik dari seluruh peristiwa itu bahwa tak ada gunanya kita berperang diantara sesama, dan lebih banyak mudharatnya ketimbang sisi positifnya. Sesuai dengan istilah yang cukup mahsyur di Poso saat itu yakni kalah jadi abu, menang jadi arang.
Disisi yang lain juga, konflik yang pernah terjadi di Poso membuat publik dunia dan secara khusus Negeri kita Indonesia melabeli kota kecil ini dengan berbagai predikat, semisal kota intoleran lah, kota sarang terorisme dan radikalisme, kota tidak aman, dan berbagai istilah negatif lainnya.
Aspek Kesejarahan Poso
Bila kita tinjau lebih jauh dari perspektif sejarahnya, Poso sebagai kota sudah berkembang sejak akhir abad 19 yaitu Tahun 1895. Diantaranya sebagai kota pelabuhan kecil di mulut sungai Poso dan kota penting bagi Belanda untuk mengontrol wilayah selatan Teluk Tomini di masa awal kedatangan mereka. Dari fakta ini menunjukan bahwa Poso adalah kota tertua dibelahan bumi provinsi Sulawesi Tengah dan peletak dasar peradaban awal di Sulawesi bagian Tengah.
Di samping itu juga peran-peran kota Poso yang cukup signifikan menjadikan daerah ini sebagai Pusat Pemerintahan dari Landschap Poso, Onderafdeling Poso, dan Afdeling Poso pada zaman kolonial. Disaat meletus Perang Dunia Kedua, Poso dipilih sebagai kawasan strategis oleh jepang dan dijadikan salah satu tangsi militer mereka.
Pada awal-awal masa kemerdekaan Republik Indonesia, berdasarkan hasil konferensi Raja-raja Se-Sulawesi Tengah di Parigi saat itu, akhirnya memutuskan bahwa Poso layak menjadi Pusat Pemerintahan (Ibukota) Daerah Otonom di Wilayah Sulawesi Tengah yang waktu itu masih berada di bawah naungan Provinsi Sulawesi tepatnya tanggal 2 Desember 1948. (Kustini : 2010). Hal ini diperkuat lagi lewat surat kepada Perdana Menteri Negara Indonesia Timur, Ida Anak Agung Gede Agung tertanggal 8 Februari 1949 (Timparosa : 2017).
Pemerintah Pusat waktu itu langsung menunjuk Bapak Radjawali Pusadan selaku Bupati Kepala Daerah untuk memimpin jalannya pemerintahan di Poso. Sejak saat itu pula kota Poso terus menghabiskan dirinya sebagai pusat ekonomi, pemerintahan, pendidikan, di wilayah Sulawesi Tengah. Pembangunan terus digenjot dan berbuah pada kemaslahatan masyarakat tempo itu.
Sekitar empat tahun menjadi basis sentral pemerintahan dan ekonomi akhirnya Poso menjadi daerah yang berkembang secara maju dan pesat di wilayah Sulawesi Tengah. Perlu dicatat bahwa Presiden Soekarno pernah menginjakkan kakinya di Tanah Poso menggunakan Pesawat Catalina dan disambut oleh ribuan warga kala itu pada 21 November 1951.
Tanpa disadari kemajuan itu terus berlangsung sampai tahun 1952. Geliat ekonomi pada saat itu mungkin terus tumbuh sehingga perlu ada distribusi kesejahteraan bagi daerah lain. Akhirnya dengan begitu Pemerintah Pusat mengambil kebijakan bahwa Poso harus memekarkan wilayahnya menjadi daerah otonom baru yaitu kabupaten Donggala dengan ibukotanya Palu. Tanpa berlama-lama pemerintah pusat juga langsung menunjuk bapak Intje Naim Daeng Mamangun selaku Bupati Kepala Daerah Donggala pertama.
Tujuh tahun setelah memekarkan Kabupaten Donggala, tepatnya 1959. Poso kembali memekarkan Wilayahnya menjadi Kabupaten Banggai dengan Ibukotanya Luwuk, sama seperti Donggala, Kabupaten Banggai pun langsung ditunjuk Bupatinya oleh Pemerintah Pusat yaitu Bapak Bidin. Sampai dimasa Reformasi pun Kabupaten Poso masih terus memekarkan Wilayahnya. Sejak 1999 mekar pula Kabupaten Morowali dengan Ibukotanya Bungku dan pada 2003 mekar lagi Kabupaten Tojo Una-Una dengan Ibukotanya Ampana. Artinya apa, betapa besar jasanya Poso bagi daerah-daerah hasil pemekarannya ini, jadi janganlah melupakan Poso !
Orde lama pun tumbang, tampuk kekuasaan negara berganti kepada Orde baru. Selera juga ikut berganti dan implementasinya terasa juga di Poso, Apa itu ? Ya, sama seperti daerah lainnya di Indonesia. Poso juga merasakan bagaimana ketika tampuk kekuasaan itu diserahkan kepada militer. Tak sedikit Bupati di Poso zaman itu adalah jenderal hasil dari penunjukan Presiden Soeharto. Catatan kritisnya adalah mau sipil atau militer tetap saja ada plus minusnya. Paling penting harus punya kapasitas, integritas dan kemampuan managerial yang baik.
Zaman keemasan Poso juga pernah tercatat pada dekade 60an dimasa Kepemimpinan Bupati Ngitung, dimana saat itu Poso menjadi kota primadona di Sulawesi Tengah dengan berbagai prestasinya baik dibidang Ekonomi, Olahraga, Pendidikan, Perdagangan, Pertanian, mengalahkan kota Palu yang notabenenya Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah.
Ketika Galib Lasahido menjabat Bupati pun banyak prestasi yang dilakukannya, seperti menata lagi tata kelola administrasi Pemerintahan di Poso waktu itu, kemudian menjaga stabilitas Politik dan Keamanan pasca G30S terkhusus di Wilayah Kabupaten Poso. Kepemimpinan Galib Lasahido ini pun dilanjutkan oleh seorang militer senior kala itu yakni Koeswandi. Pada zaman beliau lah perluasan kota dan pembangunan infrastruktur secara masif dikerjakan.
Pada masa Bupati Soegiono dibangun Perguruan Tinggi pertama di Kota Poso, yaitu Universitas Sintuwu Maroso. Pada dekade 80an akhir dimasa Kepemimpinan Bupati Arief Patanga, disnilah mulai muncul bias-bias persoalan. Dimana menurut masyarakat dan Pegawai Negeri Sipil dikala itu mengatakan bahwa rezim Patanga acapkali memanfaatkan sejumlah jabatan publik untuk kepentingan keluarga dan sanak saudara.
Pada tataran yang lain pun, sejumlah jabatan dan proyek-proyek strategis seringkali dikaitkan dengan jaringan patronase yang telah dibangun Patanga dengan kelompok-kelompok pengusaha kerabatnya dan sepertinya ada harga yang harus dibayar mahal dari sejumlah kesepakatan yang tak terjamah oleh awam tersebut.
Titik balik kekacauan Poso barangkali dimulai dari beberapa peristiwa yang saya sebutkan ssbelumnya ibarat “api dalam sekam”. kekecewaan publik atas berbagai perilaku “Oligarki Patrimornial” juga merupakan faktor penting pemantik konflik ditambah memang ada sejumlah faktor lain yang saling berkelindan. Satu yang paling patut disesali dari Patanga adalah sikapnya ketika selepas dari jabatannya, beliau dikabarkan lari dari Poso dan menetap di Yogyakarta dan tak pernah kembali lagi ke Poso untuk sekadar tampil sebagai sosok tauladan yang pernah memimpin kota kecil ini. (Dave McRae : 2016)
Disaat Poso konflik, tampuk pimpinan diemban oleh begawan Politik senior Sulawesi Tengah yakni Alm. Abd. Muin Pusadan. Selain dikenal sebagai Tokoh senior Golkar beliau pun adalah mantan Dosen Universitas Tadulako Palu sekaligus Pembantu Rektor (Baca : Wakil Rektor Sekarang). Jabatan sebagai Wakil Ketua DPRD Sulawesi Tengah pun pernah diembannya hingga akhirnya terpilih menjadi Bupati Poso pada 1999.
Gambaran selama Kepemimpinan Pusadan barangkali bisa diungkapkan sebagai hal terberat yang dirasakan oleh mantan dosen teladan nasional itu. Dimana tak ada pembangunan yang bisa beliau jalankan di Poso karena memang situasi saat itu sangat tidak Kondusif. Bagaimana mungkin pembangunan bisa terlaksana kalau tidak ada stabilitas, Ini bukan faktor beliau minim kapasitas tapi lebih pada realitas saat itu yang tidak mendukung.
Dalam setiap pidatonya beliau selalu bicara, “setan apa sudah yang masuk dikepala kita ini sehingga ribut begini”. Tapi mungkin terlepas dari tak adanya Pembangunan dimasa beliau memimpin, mungkin ada satu warisan yang ditinggalkan beliau yakni bagaimana Pemimpin itu harus selalu hadir ditengah-tengah masyarakat baik dalam keadaan senang maupun sesulit apapun bukannya lari dan menghilang serta lepas tanggungjawab. Sebuah cerminan model kepemimpinan kearifan lokal Poso.
Era baru muncul ketika Pemilihan Kepala Daerah untuk pertama kalinya diselenggarakan secara langsung. Di Poso sendiri saat Pilkada 2005 terpilih seorang Purnawirawan Polisi yaitu Piet Inkiriwang. Setelah resmi menjadi Bupati, beliau langsung bergerak cepat serta berkonsultasi dengan semua elemen masyarakat Poso untuk mengembalikan semangat dan pemulihan diberbagai sektor.
Pemulihan ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang hancur lebur saat konflik berlangsung adalah hal penting untuk diantisipasi lebih awal. Setelah itu, Penguatan-penguatan pasca rekonsiliasi konflik, pembentukan wadah-wadah kerukunan, kerjasama lintas daerah dengan berbagai ormas keagamaan dan ormas kemasyarakatan. Itu semua dijalankan beliau hingga mengakhiri jabatannya pada 2015.
Kota Beradab Dan Toleran
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa secara kultural masyarakat Poso adalah masyarakat yang beradab dan berbudaya oleh karena punya nilai-nilai etik yang dipegang secara prinsip dan diwarisi secara turun-temurun. Nilai keutamaan Ini telah berlangsung cukup lama dan diterapkan dalam pola relasi sosial keseharian. Jauh sebelum konflik, Poso sendiri secara historis jauh dari label “kota konflik”, julukan ini disematkan ketika Umat Muslim dan Umat Kristiani Poso saling bunuh di medan konflik. Saya mau bilang bahwa ini juga salah kita, mengapa kita mau diadu oleh pihak-pihak yang tak bertanggungjawab itu? Kemanakah budaya Mosintuwu (kasih sayang) yang selama ini menjadi jangkar relasi sosial orang Poso?
Budaya Sintuwu Maroso (persatuan yang kuat) adalah contoh konkret bagaimana masyarakat Poso melakukan nilai toleransi, solidaritas serta keadaban publik. Dalam perspektif sosiologis budaya ini bekerja dalam nalar sebagai katup pengaman sosial. Ini berlangsung secara turun-temurun dari generasi per generasi sejak lama. Sehinggal kultur itu cukup “lengket” disanubari masyarakat Poso. Sehingga, jangan heran ketika konflik berlangsung banyak yang tidak mendukung dan tidak sedikit juga masyarakat Poso yang mengecamnya.
Ada beberapa nilai penting yang diusung oleh budaya Sintuwu Maroso yang bisa dijadikan spirit dalam membangun Poso hari ini dan kedepan yaitu Tuwu Mombetubunaka (prinsip hidup saling menghormati dan menghargai), Tuwu Mombepemawo (saling mengasihi dalam ruang publik), Tuwu Simpande Raya (nilai Toleransi), Tuwu Mombepatuwu (nilai kepedulian untuk menciptakan kesempatan hidup bersama), Tuwu Sintuwu Raya (persatuan dan kesatuan) ( Hasan Waru D Mahid : 2006).
Dengan begitu, kenapa konflik bisa terjadi di masyarakat Poso. Bukankah ini disebabkan oleh ulah segelintir oknum yang coba memancing di air keruh? Tapi sudahlah, itu perkara dua puluh tiga tahun yang lalu. Sekarang kita harus menatap ke masa depan. Hari ini kita butuh Poso Harmoni. Bukan hanya itu, kita juga butuh Poso Pakaroso (Poso Tangguh).
Poso Hari Ini
Ya, memang hari ini kita butuh kabupaten Poso yang harus dan tetap memiliki harmoni sosial dan memiliki ketangguhan di semua sektor kehidupan masyarakat. Karena itu sejak dilantik pada Februari 2021 yang lalu Bupati Verna GM Inkiriwang dan Wakil Bupati M Yasin Mangun segera tancap gas mengemas pembangunan kabupaten Poso tanpa menunggu waktu lama. Kedua Putera-Puteri terbaik Tana Poso ini memang tidak diragukan lagi kapasitasnya. Mereka sangat memahami Poso berikut dengan segala lini problematikanya. Karena itu, Bupati yang dikenal mantan Runner Up 1 Miss Indonesia 2007 itu sejak awal memprogramkan Bunga Desa (Bupati Ngantor di Desa).
Program tersebut adalah salah satu bentuk upaya oleh pemerintah daerah kabupaten Poso dalam meningkatkan dan mendekatkan pelayanan publik agar lebih efektif dan efisien. Implementasi dari program ini adalah Bupati berkantor di desa selama seharian penuh dalam sebulan sekali bersama dengan OPD yang membidangi pelayanan kesehatan, administrasi kependudukan, perizinan, data sosial, dan pajak daerah. Selama Kepemimpinan Bupati Verna program ini terus dimaksimalkan dengan baik demi tercapainya visi utama yaitu Poso menjadi kabupaten Maju, Tangguh, dan Terdepan di Sulawesi Tengah.
Di tingkat masyarakat Poso, program ini jelas sangat membantu dalam memperpendek jarak sehingga warga yang tinggal jauh dari pusat kota bisa mendapatkan hak yang sama terkait dengan pelayanan publik. Dengan begitu masyarakat juga bisa secara langsung menyampaikan keluh-kesahnya ketika berhadapan dengan Bupati dan saat itu pula langsung dicarikan solusinya. Dari segi penerapan digitalisasi, pemerintahan daerah kabupaten Poso dalam rangka menyambut Indonesia Emas di tahun 2045 terus mempersiapkan diri lewat program-program berbasis teknologi.
Lewat sistem Paduka Raja atau pelayanan dokumentasi administrasi kependudukan di rumah saja bupati yang dikenal sebagai dokter itu juga menggenjot bagaimana pelayanan digital bisa juga terlaksana di Kabupaten Poso. Jadi dalam hal ini masyarakat tak perlu lagi repot mengurus segala urusan yang berbau administrasi di kantor, cukup lewat satu aplikasi terpadu dan dalam waktu kurang dari sejam semua urusan bisa selesai. Pemerintah Daerah Kabupaten Poso juga membuka layanan pengaduan masyarakat yang namanya Poso Complaint Center (PCC) dimana seluruh masalah bisa dilaporkan disitu dan langsung dihubungkan dengan OPD terkait agar langsung dirumuskan solusi dari masalahnya. Tren ini tentu sangat positif bagi perkembangan menuju “Poso Go Digital” dimasa akan datang.
Dengan tingkat prospek kemajuan seperti itu, layak kah Poso menjadi kota yang mendunia ?
Jawabannya iya, karena peluang ke arah sana begitu besar. Ini ditandai dengan beberapa fakta pendukung bahwa Poso punya berbagai sektor ril yang dapat berkontribusi bagi peningkatan PAD daerah dan devisa negara. Bukan hanya itu. Poso juga dikenal sejak lama punya ikon pariwisata dengan destinasi Danau Poso yang indah dan merupakan danau terbesar ketiga di Indonesia setelah Danau Toba dan Danau Singkarak. Karena itu event Festival Danau Poso sudah beberapa kali digelar oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Poso yang didukung sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat lewat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Hanya saja dalam konteks untuk peningkatan industri pariwisata kegiatan festival tersebut masih memerlukan pembenahan baik dari segi konsep, management maupun kontennya.
Yang perlu juga ditingkatkan adalah bagaimana kota Poso sekarang ini dipacu untuk menjadi kota bersih dan indah dengan begitu maka upaya yang harus dilakukan adalah pembenahan tata kota harus segera dilakukan sehingga Poso menjadi kota yang pantas mendapat penghargaan Adipura. Ini merupakan cita-cita lama yang selama ini didambakan oleh masyarakat kota Poso sebagai wujud dari keinginan menjadi Ibukota Provinsi Sulawesi Timur yang isunya sudah lama berkembang di masyarakat. Bahkan sebagian besar masyarakat dalam konteks itu menginginkan agar Kabupaten Poso harus dimekarkan lagi menjadikan kota Poso harus dipimpin oleh seorang walikota. Keinginan ini harus direspon secara wajar dan bebas dari prasangka yang tidak penting.
Pada 1 Maret 2023 kemarin, kota Poso baru saja merayakan hari jadinya yang ke 128 Tahun. Semua masyarakat bersuka cita menyambutnya dan pemerintah daerah kabupaten Poso juga turut serta melaksanakan beberapa kegiatan yang bernilai edukatif. Ini jelas bukan usia yang muda bagi sejarah sebuah kota. Di usia seabad lebih itu pastinya punya harapan emas terhadap perkembangan wajah kotanya yang harus terus bergerak maju dalam semua aspek pembangunan baik itu yang bersifat fisik maupun sumberdaya manusia.
Dengan capaian-capaian positif yang telah diraih pasca konflik dan perbaikan-perbaikan pada berbagai sektor formal maupun informal, kota ini diharapkan pula agar menjadi percontohan bagi kota-kota lain di Indonesia dan sudah barang tentu terhapuslah seluruh stigma negatif agar Poso kedepan bisa dikenal seluruh warga dunia sebagai kota ramah bukan kota intoleran.