Tahun 2020 dunia internasional mengesahkan Resolusi 2538 sebagai penguat sejumlah resolusi sebelumnya, terutama Resolusi 1325 yang menekankan pentingnya perempuan berpartisipasi dalam proses perdamaian dan keamanan. Resolusi 2538 sangat membanggakan karena merupakan resolusi pertama dalam sejarah diplomasi Indonesia di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa- bangsa (DK PBB) sekaligus merupakan wujud sumbangsih Indonesia dalam meningkatkan peran perempuan sebagai agen perdamaian, khususnya dalam misi pemeliharaan perdamaian PBB. Resolusi tersebut, antara lain menekankan perlunya peningkatan jumlah personel perempuan dalam misi PBB, kerjasama pelatihan dan pengembangan kapasitas, pembentukan jejaring dan database personel perempuan, peningkatan keselamatan dan keamanan, penyediaan sarana dan fasilitas khusus bagi personel perempuan, serta kerjasama PBB dengan organisasi kawasan.
Indonesia adalah salah satu kontributor personel perempuan terbesar dengan 158 personel yang bertugas di tujuh misi PBB yaitu Lebanon, Republik Demokratik Kongo, Republik Afrika Tengah, Sudan Selatan, Darfur, Mali, dan Sahara Barat. Sejak 1999, Indonesia telah mengirim lebih dari 570 personel perempuan ke berbagai misi pemeliharaan perdamaian PBB. Pasukan perdamaian perempuan Indonesia selama ini diakui perannya dalam mendekatkan diri dengan masyarakat setempat di wilayah konflik, khususnya dalam perlindungan perempuan dan anak. Saat ini, personel perempuan penjaga perdamaian PBB berjumlah 5.327 atau 6.4% dari total 82.245 personel.
Perempuan sebagai bagian penting dalam misi Penjaga Perdamaian
PBB telah merumuskan mandat Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (Women, Peace, and Security) demi mempromosikan kesetaraan gender dan memungkinkan partisipasi penuh perempuan dalam upaya keamanan dan pemeliharaan perdamaian global. Tujuannya, memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang sama terhadap peluang, sumber daya, dan layanan, serta kemampuan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, dalam rangka membangun dan memelihara perdamaian dan keamanan.
Mandat itu memungkinkan perempuan terlibat dalam kerja-kerja Peacekeeping Operation (PKO), atau dikenal sebagai operasi perdamaian, merupakan suatu instrumen yang digunakan PBB untuk membantu negara yang terkena konflik. Operasi perdamaian dimaksudkan sebagai langkah penengah bagi pihak-pihak yang berkonflik dan memastikan aksi kekerasan tidak lagi digunakan dalam proses menuju perdamaian. Setelah perdamaian tercapai, operasi perdamaian diharapkan tetap terlibat dalam proses bina-damai sehingga konflik tidak terulang. Pada awalnya, peran lelaki masih sangat dominan dalam setiap operasi perdamaian. Kini peran perempuan dalam operasi perdamaian semakin meningkat.
Sejumlah studi menjelaskan, keterlibatan signifikan perempuan dan kelompok masyarakat sipil dalam negosiasi perdamaian membuat kesepakatan yang dihasilkan 64% lebih kecil kemungkinannya untuk gagal, dan 35% lebih mungkin bertahan setidaknya lima belas tahun. Selain itu, partisipasi penuh dan bermakna perempuan dalam operasi perdamaian memperluas perspektif tentang manajemen konflik, memungkinkan resolusi politik yang lebih inklusif dan pada akhirnya, meningkatkan strategi pembangunan perdamaian internasional. Artinya, ada korelasi langsung antara partisipasi bermakna perempuan dalam pemeliharaan perdamaian dan kinerja dan efektivitas unit pemeliharaan perdamaian.
Dalam prakteknya, Pasukan Perdamaian Perempuan, termasuk dari Indonesia memegang peranan penting dalam menjaga perdamaian dunia. Mereka tidak hanya berkontribusi dalam pemeliharaan keamanan fisik tetapi juga memainkan peran penting dalam memberdayakan perempuan dan anak- anak, menangani kasus kekerasan seksual, dan mengadvokasi kesetaraan gender. Perempuan dapat berpartisipasi secara berarti ketika mereka memiliki akses ke pelatihan, promosi, dan peluang kemajuan karier yang setara dengan rekan kerja mereka yang laki-laki. Ketika mereka memegang posisi yang sesuai dengan pelatihan, pangkat, dan bidang keahlian mereka; dan ketika tempat kerja mereka bebas dari segala bentuk pelecehan, perundungan, dan intimidasi.
Intinya, perempuan telah menjalankan berbagai peran sipil dalam operasi penjagaan perdamaian PBB selama beberapa dekade. Tidak ada fungsi dalam misi perdamaian yang tidak dijalankan oleh perempuan, mulai dari menyediakan analisis operasional, mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, mendorong proses politik dan rekonsiliasi, membersihkan sisa-sisa bahan peledak perang dan mempromosikan kewaspadaan terhadap ranjau, mengelola lapangan udara, memperbaiki kendaraan, dan bertugas sebagai petugas informasi publik yang menjelaskan dan membangun dukungan untuk pekerjaan PBB dan membantu misi mempromosikan perdamaian dan keamanan.
Mengapa penting memiliki pasukan penjaga perdamaian perempuan?
Semakin banyak perempuan dalam penjagaan perdamaian berarti penjagaan perdamaian menjadi lebih efektif. Penjaga perdamaian perempuan meningkatkan kinerja penjagaan perdamaian secara keseluruhan, memiliki akses yang lebih besar ke masyarakat, membantu dalam mempromosikan hak asasi manusia dan perlindungan warga sipil, dan mendorong perempuan untuk menjadi bagian yang berarti dari perdamaian dan proses politik. Selain itu, mereka dapat mengakses masyarakat dengan lebih baik, termasuk perempuan dan anak-anak. Mereka mampu mewawancarai dan mendukung korban kekerasan berbasis gender dan kekerasan terhadap anak sehingga menghasilkan informasi penting yang mungkin sulit dijangkau.
Pasukan penjaga perdamaian perempuan merupakan pendorong penting untuk membangun rasa saling percaya dan keyakinan dengan masyarakat setempat serta membantu meningkatkan akses dan dukungan bagi perempuan setempat, misalnya, dengan berinteraksi dengan perempuan di masyarakat tempat perempuan dilarang berbicara dengan laki-laki. Mereka dapat membantu menanggulangi dampak negatif konflik yang tidak proporsional terhadap penghidupan perempuan, serta menghadirkan perspektif dan solusi baru dengan secara efektif memenuhi kebutuhan perempuan dalam situasi konflik dan pascakonflik, termasuk kebutuhan perempuan mantan kombatan dan anak-anak prajurit selama proses demobilisasi dan reintegrasi ke dalam kehidupan sipil. Hal penting lainnya adalah mereka berperan sebagai mentor dan panutan yang kuat bagi para perempuan dan anak perempuan di lingkungan pasca konflik serta memberikan contoh bagi mereka untuk memperjuangkan hak-hak mereka sendiri dan mengejar karier yang tidak konvensional.
Peningkatan partisipasi perempuan dalam operasi pemeliharaan perdamaian global telah terbukti meningkatkan efektivitas dan stabilitas misi. Misi dengan lebih banyak personel perempuan lebih mungkin untuk mencapai mandat mereka dan membawa perdamaian berkelanjutan. Namun, bukti kuat menunjukkan bahwa yang penting adalah partisipasi perempuan yang “bermakna” dan bukan hanya jumlah. Istilah “bermakna” dimaksudkan sebagai “kehadiran dan kepemimpinan perempuan dalam operasi perdamaian PBB dijumpai pada semua tingkatan dan fungsi.” Perempuan dapat berpartisipasi secara bermakna ketika mereka berkontribusi pada, dan diikutsertakan dalam, semua aspek perencanaan operasional dan misi, dan proses pengambilan keputusan, termasuk ketika mereka memegang posisi komando dan kepemimpinan operasional, dan peran non-tradisional serta non-stereotip.
Akses pasukan penjaga perdamaian perempuan terhadap penduduk lokal sangatlah berharga ketika terdapat pembatasan budaya seputar interaksi lintas garis gender dan di tempat-tempat yang tertutup bagi laki-laki. Penduduk lokal sering kali merasa lebih nyaman untuk berhubungan dan berbagi informasi dengan pasukan penjaga perdamaian perempuan, memberi mereka kesadaran situasional yang lebih baik tentang lingkungan tempat mereka beroperasi. Kemampuan perempuan untuk mendapatkan kepercayaan penduduk lokal merupakan komponen penting dari setiap operasi penjaga perdamaian.
Tidak salah untuk menyimpulkan bahwa partisipasi yang bermakna dari pasukan penjaga perdamaian perempuan meningkatkan operasi dan kinerja pasukan penjaga perdamaian. Mereka meningkatkan pendekatan holistik secara keseluruhan dalam operasi penjaga perdamaian saat ini dengan memberikan perspektif gender pada proses perencanaan dan pengambilan keputusan, khususnya terkait perempuan dan anak.
Pentingnya perspektif keadilan gender dalam analisis konflik
Resolusi 1325 dan 2122 mengandung mandat yang kuat untuk implementasi gender mainstreaming. Pengarusutamaan gender berkaitan erat dengan upaya menciptakan perdamaian dunia karena terdapat banyak bukti yang mendukung fakta bahwa kekerasan seksual dan fisik terhadap perempuan meningkat selama masa konflik bersenjata. Kekerasan seksual sistematis terhadap perempuan dan anak perempuan telah digunakan sebagai taktik militer yang disengaja dalam beberapa perang dan konflik.
Apa sih gender itu? Setiap orang dilahirkan dengan suatu identitas jenis kelamin (seks) tertentu sebagai perempuan atau laki-laki. Namun, setiap orang tetap harus belajar menjadi gadis dan pemuda yang kemudian tumbuh menjadi perempuan dan lelaki. Mereka diajari perilaku dan sikap, peran dan aktivitas yang pantas bagi mereka, dan bagaimana seharusnya mereka berhubungan dengan orang lain. Perilaku yang dipelajari inilah yang menciptakan identitas gender (jenis kelamin sosial) seseorang dan menentukan peranan gender.
Peranan gender perempuan dan lelaki berbeda dalam semua masyarakat. Peran ini dapat bervariasi pada masyarakat yang berbeda dan di antara komunitas yang berbeda dalam masyarakat yang sama. Misalnya, komunitas pertanian di suatu wilayah memandang pekerjaan membajak lahan dianggap normal bagi perempuan, sedangkan pada komunitas lain, pekerjaan itu dianggap tugas lelaki. Beberapa faktor seperti kelas (posisi sosial, kekayaan), usia, dan pendidikan juga akan mempengaruhi peranan gender.
Karena berbagai alasan, kebanyakan karena perbedaan peran dan tanggung jawab, perempuan dan lelaki dapat memiliki perspektif yang berbeda tentang suatu konflik, kebutuhan yang berbeda dan mungkin kepentingan yang bersaingan. Itulah mengapa diperlukan perspektif gender dalam analisis konflik sosial dan politik; dalam penilaian mengenai dampak konflik kekerasan; dan dalam melakukan identifikasi strategi yang sesuai bagi upaya perdamaian,
Kekerasan terhadap perempuan memiliki akar yang dalam di banyak kelompok masyarakat. Misalnya, dalam kelompok masyarakat tertentu, pemikiran mengenai apa yang membentuk maskulinitas sering dikontraskan dengan feminitas, sehingga kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak dipandang sebagai wujud pelaksanaan kekuasaan yang dibenarkan. Ketika perempuan mengatur dan melakukan negosiasi seputar isu-isu seperti kekurangan makanan atau perawatan anak atau para pasangan mereka yang hilang, maka mereka membangun jaringan kuat yang memiliki potensi bagi terciptanya perdamaian di masa yang akan datang.
Kekerasan terhadap perempuan memiliki akar yang dalam di banyak kelompok masyarakat. Misalnya, dalam kelompok masyarakat tertentu, pemikiran mengenai apa yang membentuk maskulinitas sering dikontraskan dengan feminitas, sehingga kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak dipandang sebagai wujud pelaksanaan kekuasaan yang dibenarkan. Ketika perempuan mengatur dan melakukan negosiasi seputar isu-isu seperti kekurangan makanan atau perawatan anak atau para pasangan mereka yang hilang, maka mereka membangun jaringan kuat yang memiliki potensi bagi terciptanya perdamaian di masa yang akan datang.
Dampak konflik kekerasan mempunyai dimensi gender yang harus dianalisis dalam setiap kasus. Umumnya lelaki kemungkinan besar terbunuh dan perempuan menjadi janda dan ditinggalkan untuk mengurus keluarganya. Anak laki laki biasanya dipaksa memasuki gerakan bersenjata, para gadis diculik oleh gerakan yang sama untuk dijadikan budak seks. Para lelaki dan perempuan, para pemuda dan gadis sama-sama menjadi objek penyiksaan dan pelecehan seksual.
Melakukan analisis konflik politik dan sosial dengan perspektif gender berarti melihat konflik lebih dalam dari sekedar yang terlihat oleh kacamata publik, bahkan pada tingkat yang lebih mendalam lagi, dalam keluarga dan kelompok komunitas. Lelaki mungkin merupakan target, karena gendernya, dipaksa untuk menjadi tentara. Perempuan mungkin dihadapkan dengan tanggung jawab yang baru untuk mempertahankan keluarganya pada saat pasangan tidak ada dan mungkin mereka sendiri menjadi target kekerasan.
Dengan demikian, kesadaran mengenai gender dan peran gender menjadi elemen penting dalam berbagai upaya penyelesaian konflik dan membangun perdamaian. Selain itu, perspektif keadilan gender adalah esensial bagi setiap pekerjaan yang bertujuan untuk mempengaruhi hubungan sosial. Artinya, perspektif keadilan gender sangat diperlukan dalam setiap analisis konflik. Perspektif tersebut juga sangat penting dalam merespon kekerasan, apa pun bentuknya.
Memahami kekerasan domestik berbasis agama dan keterlibatan
perempuan
Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, tidak heran jika umumnya kelompok ekstrimisme berbasis Islam. Kelompok ini sangat mudah dikenali karena mereka sering mengusik tradisi keislaman yang sudah mapan dan diamalkan mayoritas umat Islam di negeri ini, seperti tradisi pembacaan barzanji, tahlilan dan dzibaan, tradisi peringatan maulid Nabi, tradisi takziyah kematian dan seterusnya. Selain itu, biasanya mereka gencar menyebarkan paham anti-Pancasila, anti-demokrasi, anti-kebhinekaan dan keberagaman, dan anti-kesetaraan gender. Mereka juga alergi dengan semua yang datang dari Barat dan non-Islam. Fatalnya lagi, mereka juga benci dengan simbol-simbol keindonesiaan, seperti bendera Merah-Putih, lambang Burung Garuda, dan lagu Indonesia Raya. Mereka menyebut semua itu bid’ah dan thagut (musuh Islam) yang harus dilenyapkan. Bahkan, mereka memandang Indonesia sebagai negara kafir karena itu boleh dirampok.
Untuk kasus Indonesia, ada banyak hipotesis yang muncul mengapa para perempuan Indonesia bersedia melakukan tindakan ekstremisme, bahkan terorisme. Di antaranya, perempuan dianggap sangat loyal pada ajaran agama, lebih militan dalam menjalankan aksinya. Apalagi mereka yang pernah mengalami trauma, menjadi korban KDRT atau mengalami konflik dalam keluarga atau perceraian. Ketika dicuci otak dengan pemahaman Islam radikal, para perempuan tersebut bisa dengan militan menjalankan misinya, bahkan lebih militan dari laki-laki.
Perempuan seperti apa yang banyak terlibat dalam gerakan ekstremisme di Indonesia? Penelitian Yayasan Prasasti Perdamaian mengungkapkan, umumnya mereka adalah para isteri dan keluarga teroris yang sudah lama terlibat dalam aksi-aksi kekerasan ekstremisme, isteri dan keluarga para jihadis di Suriah, Lebanon dan Turki. Para suami atau keluarga mereka adalah anggota Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharut Tauhid, gerakan Negara Islam Indonesia, ISIS, Salafi Jihadis dan organisasi Islam radikal lain.
Penting dicatat, sebagian besar mereka bukanlah perempuan bodoh dan tidak terdidik. Kebanyakan mereka lulusan perguruan tinggi, selebihnya lulusan pesantren dan Sekolah Menengah Atas. Lalu, dari aspek ekonomi, mereka tidak selalu dari kelompok miskin, tidak sedikit dari mereka berasal dari kalangan menengah ke atas. Profesi mereka pun beragam dan sebagian cukup menjanjikan, seperti dosen, guru, muballighah, ustazah, dokter, karyawan, aktivis organisasi, buruh migran dan pedagang online. Sebagian mereka direkrut melalui pernikahan, lalu suami mendoktrin mereka dengan pemahaman Islam radikal (ultra konservatif). Artinya, mereka sengaja dinikahi untuk dijejali ideologi radikal. Bahkan, sebagian perempuan itu dinikahi ketika suami masih mendekam di penjara. Sebaliknya, tidak sedikit dari mereka mengalami “cuci otak” terlebih dahulu baru dinikahi. Sebagian dari mereka mendapatkan indoktrinasi yang sangat masif dari teman dekat suami atau dari sesama perempuan yang telah lama aktif dalam jaringan ekstremisme.
Penting juga dicatat bahwa sebagian besar perempuan yang berhasil direkrut dalam gerakan terorisme adalah buruh migran. Menurut penulis hal itu sangat wajar karena umumnya buruh migran adalah perempuan mandiri, punya uang, dan berani serta pengguna aktif media sosial. Mereka juga punya pengalaman bepergian ke luar negeri sehingga mudah dijadikan sebagai agen kurir atau pembawa pesan-pesan rahasia. Perempuan buruh migran umumnya terpapar ideologi radikalisme lewat internet, khususnya ketika bekerja di luar negeri. Pertemuan mereka dengan suami dan kelompok teroris biasanya terjadi melalui jaringan sosial media.
Secara psikologis, perempuan buruh migran seringkali mengidap kekecewaan dan frustrasi yang sangat dalam akibat perlakuan diskriminatif dan kekerasan fisik yang mereka alami ketika bekerja. Umumnya mereka mengalami berbagai trauma psikologis selama bekerja di luar negeri. Patologi psikis tersebut membuat sebagian mereka mudah menerima pengaruh apa pun yang dianggap dapat menolong mereka keluar dari situasi mencekam tersebut.
Sebagian mereka sangat membutuhkan mekanisme pertahanan diri (self defence mechanism) untuk bertahan dari berbagai tekanan sosial. Aksi aksi terorisme membuat mereka menemukan kebermaknaan hidup. Mereka yakin dengan aksi-aksi kekerasan tersebut akan mendapatkan pahala besar di akhirat sebagai syahidah atau martir. Sebagai contoh, Dian Yulia Novi, buruh migran yang kemudian menjadi pelaku bom bunuh diri, awalnya tertarik mempelajari Islam melalui internet dan jejaring sosial. Pelajaran agama tersebut membuatnya tertarik pada perjuangan Islam di Suriah. Berikutnya, dia mengalami proses indoktrinisasi yang intens melalui facebook dan situs- situs radikal, termasuk situs jihad online yang dikelola jaringan Aman Abdurrahman.
Jadi, motivasi utama perempuan Indonesia terlibat dalam gerakan ekstremisme umumnya bersifat teologis. Awalnya, mereka terpapar ideologi Islam radikal, di antaranya keyakinan bahwa wajib hukumnya bagi seorang Muslim membunuh orang kafir (non Muslim); meyakini kewajiban menegakkan negara Islam dan khilafah islamiyah dengan melakukan jihad menumpas ketidakadilan, walau dengan cara membunuh sekalipun. Mereka juga dijejali dengan narasi ketertindasan Islam sehingga sangat meyakini bahwa umat Islam kini dalam kondisi tertindas karena itu harus diselamatkan dengan jihad. Jihad dalam makna membunuh semua musuh Islam yang mereka istilahkan dengan thagut. Mereka juga didoktrin dengan pemahaman bahwa perempuan harus ikut berjihad membela Islam. Jika seseorang sudah terpapar ideologi radikalisme, biasanya hanya perlu satu langkah lagi menuju terorisme.
Efektivitas Female Enggagement Team dalam konflik domestik
Female Engagement Team (FET) merupakan pasukan perempuan pertama yang dilibatkan dalam misi pemeliharaan perdamaian dan memiliki tugas dan peran setara dengan laki-laki. Meskipun Indonesia telah mengirimkan pasukan misi perdamaian terbesar di Asia Tenggara sejak 1957, namun, pengiriman personel perempuan baru dimulai tahun 2008.
Sesuai kodratnya, perempuan dilengkapi dalam tubuhnya sebuah rahim untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Karena itu, perempuan seharusnya lebih mudah direkrut menjadi agen perdamaian. Kalau mereka bisa direkrut menjadi teroris seharusnya lebih mudah mengajak mereka menjadi agen perdamaian. Perempuan memiliki insting dan passion keibuan yang memungkinkannya lebih mudah menjalani tugas-tugas menjaga keberlangsungan hidup, mereda konflik dan memelihara perdamaian. Untuk itu, diperlukan strategi yang lebih manusiawi, komprehensif dan pendekatan yang jauh dari sifat maskulin serta bukan dengan pendekatan keamanan semata.
Perempuan dan anak-anak adalah korban konflik yang paling rentan. Ancaman bukan hanya berada pada kondisi perang tetapi juga kekerasan berbasis gender (gender based violence) dan kekerasan seksual terkait konflik (conflict related sexual violence). Peran perempuan dalam peacekeeping memiliki dampak positif pada resolusi konflik dan perdamaian di daerah konflik. Mereka berperan penting dalam proses trauma healing bagi anak-anak dan perempuan serta memberikan kontribusi positif terhadap perdamaian itu sendiri.
Selain itu, terdapat beberapa faktor yang menentukan pentingnya gender dalam konteks keamanan. Pertama, kesetaraan gender dan pengarusutamaan gender telah menjadi persyaratan global. Kedua, masalah gender dianggap penting untuk memaksimalkan sumber daya manusia secara keseluruhan. Ketiga, hasil akan lebih baik jika laki-laki dan perempuan dilibatkan secara merata dalam pengambilan keputusan atau pembuatan kebijakan. Terakhir, dari perspektif praktis, pengarusutamaan gender dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas program atau operasi sehingga dianggap sebagai langkah strategis yang harus diambil.
Penelitian Paramasatya, 2015 mengungkapkan, perempuan cenderung berpengaruh secara positif terhadap proses bina-damai dalam operasi perdamaian ditinjau dari terpenuhinya mandat dan pelaksanaan program-program pendukung operasi perdamaian itu sendiri. Ketika perempuan berpartisipasi dalam misi perdamaian, hal ini berdampak positif pada kombatan masyarakat lokal, menantang peran gender tradisional, dan meningkatkan efektivitas operasional. Keterlibatan perempuan tetap penting dalam meningkatkan efektivitas operasional secara keseluruhan, terutama dalam pendekatan komprehensif untuk menyajikan operasi pemeliharaan perdamaian.
Partisipasi perempuan yang bermakna bukan hanya merupakan isu yang sangat penting bagi pemeliharaan perdamaian, tetapi juga bagi upaya membangun kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penting untuk memastikan bahwa perempuan merupakan bagian integral dari setiap operasi pemeliharaan perdamaian, termasuk upaya-upaya resolusi konflik domestik di tanah air.
Pengalaman beberapa negara dalam upaya merajut damai dan melawan kekerasan ekstremisme menyimpulkan, perempuan adalah modal sosial untuk menjadi agen perdamaian dengan menciptakan strategi berbasis komunitas. Mereka hanya perlu diberdayakan sebagai aktor untuk meningkatkan keamanan dan deteksi dini dengan program berbasis komunitas.
Paling tidak dua hal dapat dilakukan agar perempuan menjadi aktor perdamaian. Pertama, penguatan literasi dan penegakan hak asasi perempuan dengan membangun kondisi kesetaraan dan keadilan gender di semua bidang kehidupan. Kondisi tersebut akan membuat perempuan berpartisipasi aktif dalam berbagai bidang, terutama di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya. Kedua, membangun kesejahteraan multi sektoral (well-being) guna mencegah terjadinya proses radikalisasi. Kesejahteraan dalam lingkup keluarga banyak dibebankan kepada peran perempuan, karenanya perempuan perlu dilibatkan dalam upaya upaya penguatan ekonomi, pendidikan keluarga, penguatan literasi agama, penegakan hukum, dan informasi berbasis komunitas serta deteksi dini.
FET perlu memahami bahwa meski perempuan berperan sebagai subyek atau aktor utama dalam gerakan ekstremisme, namun sejatinya mereka tetap hanyalah korban. Korban dari indoktrinasi agama yang tidak memihak kemanusiaan, korban stigmatisasi dari masyarakat, korban media, dan juga korban dari berbagai ekses konflik. Perempuan lagi-lagi hanyalah korban dari kondisi yang diciptakan oleh para elit kekuasaan patriarki. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kemampuan agensi perempuan dalam berbagai aksi-aksi kekerasan dan konflik tak boleh dipandang sepele. Karena itu, upaya mengatasi kekerasan ekstremisme harus dengan pendekatan dan sentuhan kemanusiaan serta dengan memberi tempat kepada mereka dalam pergaulan sosial arus-utama. Pendekatan keamanan dengan kekuatan militeristik harus ditinjau ulang.
Hal paling penting adalah keinginan politik yang kuat dari negara dan seluruh elemen civil society untuk mengikis akar-akar penyebab konflik dan kekerasan, seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi, kesenjangan dan ketidakadilan sosial yang sudah sedemikian akut di masyarakat. Penggunaan pendekatan keamanan semata hanya akan membuat kelompok tersebut mati suri namun potensial melahirkan kekerasan.
Di samping FET, seluruh unsur masyarakat perlu aktif terlibat mengikis aksi-aksi kekerasan. Sangat penting bagi semua elemen dalam masyarakat, khususnya pemimpin agama dan ormas keagamaan mempromosikan ajaran agama yang mengedepankan nilai-nilai humanis, keadilan, kesetaraan, toleransi dan perdamaian. Esensi agama, terutama Islam adalah memanusiakan manusia dan membangun masyarakat yang damai, berkeadilan dan berkeadaban. Semua agama, khususnya Islam memiliki misi kedamaian bagi semua makhluk di alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Terakhir, negara semestinya memikirkan strategi resolusi dan transformasi konflik yang komprehensif dengan pendekatan humanis-feminis, dan mengombinasikannya dengan upaya menata kehidupan pluralisme agama dalam kerangka demokrasi yang berkeadaban. Negara perlu menegaskan kembali prinsip demokrasi seperti terbaca dalam Konstitusi dan Pancasila yang menjadi kesepakatan politik para pendiri bangsa. Para penyelenggara negara dituntut mengimplementasikan nilai-nilai Konstitusi dan Pancasila, bukan semata sebagai semboyan dan jargon, melainkan terwujud secara nyata dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan, kebijakan, serta perilaku aparatur negara dan masyarakat.
Rekomendasi
Agar FET dapat lebih efektif dalam menjalankan tugasnya dalam analisis konflik, proses rekonsiliasi dan rekonstruksi pasca-konflik di tingkat domestik, maka dalam penerapan pelatihan WPS dan PoC, diperlukan penguatan sejumlah kompetensi berikut:
- Kemampuan rekonstruksi budaya dengan mengedepankan budaya damai yang egalitarianserta menawarkan tafsir keagamaan yang kompatibel dengan nilai-nilai universal kemanusiaan, sejalan dengan ideologi Pancasila.
- Kemampuan membangun program pendidikan kewarganegaraan berbasis kebhinekaaan,toleransi dan pluralisme.
- Kemampuan membangun media yang sejuk dan bertanggungjawab, serta ramah terhadapperempuan dan kelompok rentan, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal, utamanya nilai kesetaraan dan keadilan
- Kemampuanmemperkuat jaringan kerjasama antar elemen masyarakat sipil melalui kegiatan dialog kebangsaan, dialog kebudayaan, serta dialog antar-iman dan agama.
- Kemampuan membuka diskusi dengan berbagai kelompok berbeda, termasuk kelompokradikal agar secara bertahap muncul kesepahaman di antara anak bangsa yang begitu
Daftar Pustaka
Adam, & Malkan 2017, Dinamika Konflik di Kabupaten Poso. ISTIQRA, Jurnal Penelitian Ilmiah.
Mansour Fakih, 1996, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Margot Badran M & Cooke, M 1990, Opening the gates: A century of Arab feminist writing, Indiana University Press, Bloomington.
Moghadam, M. V., 2002, Islamic Feminism and its Discontents: Toward a Resolution of the Debate, Signs, vol. 27, No. 4.
Muhammad Abduh 1881, Hukm al-Syari’ah fi Ta’addud al-Zawaj, al-Waqa’i al-Mishriyah, Kairo.
Mulia, Musdah 2005, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Mizan, Bandung.
—————–, 2020. Ensiklopedia Muslimah Reformis: Pokok-Pokok Pemikiran untuk Reinterpretasi dan Aksi, Penerbit BACA, Jakarta.
—————-, 2010. Islam dan Hak Asasi Manusia, Naufan Press, Yogyakarta. Nasution, Harun. 1995. Islam Rasional, Bandung, Mizan.
Retrieved July 7, 2020, from https://crcs.ugm.ac.id/asal-mula-teori-animisme-dan-masalahnya/ Pankhurst, D. (2003). Women, Wartime Sexual Violence and Peacebuilding. Peace Review, 15(3), 293-300.
Robinson, M. (2002). Women and Peace: From Words to Action. International Feminist Journal of Politics, 4(1), 3-22.
Russell, C. M. (2016). U.S. National Action Plan on Women, Peace, and Security: Roadmap to Implementation. Institute for Inclusive Security.
Shepherd, L. J. (2008). ‘Sorry, Not Ready’: Australia’s Reluctance to Make Women Peacekeepers the Norm. International Feminist Journal of Politics, 10(3), 334-352.
Stern, M. (2017). The Connective Power of Women’s Networks. In S. J. Shepherd (Ed.), Gender Matters in Global Politics: A Feminist Introduction to International Relations (pp. 171-186). Routledge.
Swaine, A., & Woldemariam, Y. (2013). Beyond Victimhood: Women’s Peacebuilding Activism in Sudan’s South Kordofan and Blue Nile States. Africa Today, 59(1), 49-72.